Laman

Selasa, 17 April 2012

Adek cewek yang seksi

Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan gedung ini.

“… Kangen ya sama sekolah ini.”


Aku mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama. Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP. “Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil. “Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?” “Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku. “Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku. “Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir. “Ih… Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry. “Hehehe makanya…”


Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.


“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah… Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga…” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk. “Iyaa… Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir. “Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu…”


Ya, Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5). Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!


“Hus! Tuh kan udah ngebayangin… Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”


Tadi pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah. “Duh… Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher…” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.


Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.


“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi… Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.


Menyadari aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh. “Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah…” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa. “Haha… Nggak lah… Lu… Agak lain deh,” kataku jujur. “Hm? Lain apanya?” “Gatau… Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit. “Eehh kurang ajar ya…!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum… Penuh arti. “Koq senyum gitu?” “Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok. “Yaya… Sampe ketemu ntar sore…” “Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang. Aku tersenyum saat memandangnya pergi… Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm… Tak apalah.


Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.


Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany… Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.


Raut muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.


“Eehh Kak… Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir. “Hahaha gapapa… Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku. “Iya… Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut. “Passingnya.. Aduh… JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup. “Ini pertama kali dia main dari awal sih…” kata Tasya di sebelah Vany. “Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.” “Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2. “Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya. “… Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya. “Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen… Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih… Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.


Aku mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku… Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan. “Van, santai dikit… Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok. “Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.


Terdiam, menonton lagi. Aku memperhatikan adikku… Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat pundaknya… Hm? Biru muda? “Van, kamu pake BH biru muda ya…” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa. “Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir. “Yang tadi pagi putih basah ya…” “Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa. “Kamu seksi, Van…” “Hus! Kak…”


* * *


“Tapi bagaimana pun emang hebat kan anak-anak…” “Iya sih… Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”


Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.


“Udalah, Vann… Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya. “Hmm… Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya… Hihihi…” “Dasar…” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance. Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.


“Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng. “Nggak… Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya. “Jam?” “Empat…” “Loh ini baru jam 3 kurang… Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.


Ketika itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.


“Dasar mesumm…” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar.


“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku. “Gapapa… Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku. “Sama Cherry apa Grace?” “Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi. “Lebih sering sama Cherry kan pasti…” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk. “Cherry lebih heboh,” kataku bercanda. “Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut. “Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak. “Kita pengen tau lah, Kaaak…” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.” “Kamu juga udah hebat koq tapi, Van…” kataku. Vany nyengir. “Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.


Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.


“Kakak tuh… Nafsunya gede banget deh…” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.


Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.


“Mmh… Kak…” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget…” “Kamu itu yang gede banget…” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?


Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.


“Van… Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya. “Aaa… Kakak kan ngeremesnya heboh… Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu. “Hmmmhhh… Vannnyy… Kamu seksi banget, sayang…” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.


Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.


“Aah… Kak… Jangan buru-buru donk…” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya. “Van… Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.


“Mmhh.. Nnhh.. Kaa… K… Jangan nafsu-nafsu minumnya… Ooh…” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan. “Kakk… Kakk… Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”


Sejumlah besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya… Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.


“Ohh… K… Kakk…” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya. “Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.


Ciumanku bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.


“Mmh… Perut kamu gede tapi bagus banget, Van…” kataku. Vany tertawa. “Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut. “Seksi tau…” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir. “Sini, Kak… Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.


Ia membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat. “Oohh Vann… Astagah.. Pelan-pelann…” “Mm… Cp… Kakak dabi juga… Mmmhh.. Ga belan-belan… Mmmm… (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali. “Mmmnnhh… Aahh.. Vann… Vanny…” desahku.


Vany melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya. “Oohh.. Nnghh… Vann… Kamu emang paling enak…” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan. “Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany. Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan. “Nggghhh!! V… Vaan… VannnnNN!!!”


Crott… Crrroootttt…. Cccroottt… Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku. “Mmm… Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.


Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum.


“Ayo, Kak… Langsung aja…” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.


Kubuka kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.


“Mmhh… Kakk…” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.


Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat. “Ohh… Nnhhh… Vann.. Vann… Vanny…” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku. “Ahh.. Aaahh… Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.


Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan. “Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh…” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku. “Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak… Mmmnhh!! Aaahh…” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan. “Van… Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr…” “Ga ku.. kuattt… Kaaaakk… KKkk… Aaaahhh…!!!”


Vany orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.


“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de…hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku.


“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk… Nngghh…” pintaku. Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu. “Oohh… Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”


Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.


Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.


Saat itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku. “Lagi, Kak… Aku belom puas… Tanggung jawab…” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.


Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya. “Nnhh.. Mmhh… Vannn.. Enak banget.. Mmhh…” desahku.


Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.


“Aaahh.. Kakkk… Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh… Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.


Aku mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku. “Kakk… Kakak… Nnnnnhhh…” “Mau keluar, Yang??” Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya. “Mmmmmmmmnn… Nnnnn… NNNHHaaaaaHH!!!” Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.


Kucabut penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.


“Aaahh… Ahh Kakk.. Nnhhh… Kakk… Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan lama.


“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh… Vannn Kakak mau keluarr…” “Kak… Kakk… Kakk.. Nnhh Nnhhh… Akuu jugga… MMmmhhhHH…” “Nngghh.. Vann.. Vannyy… Vannyyy!!! VANNNY!!”


Aku mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.


Vany roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.


“Hh.. Thanks Van…” bisikku setelah beberapa lama. Vany mengangguk lemah, lelah. “Sama-sama…” katanya.


Kami terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15… Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.


“Kak… Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh…” katanya lembut. Ia membelai rambutku. “Mmm… Cuma mau minum koq, Yang…” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.


Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas.


“Astagah Diitt… Udah gue duga lu bakal di sini!!”


Aku hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.


“Duh Cher… Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku. “Lagian lu kacau sih… Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat. “Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang. “Baik banget… Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa. “Iya donk udah 5 bulan… Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih? “Yang ini juga gede banget, Van… Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar. “Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar. “Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.


Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk. “Cher, kamu… Agak beda deh,” “Hm? Beda gimana?” “Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu…” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry. Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.


* * *


Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.


“Sampe ketemu, Ma…” “Ya… Ati-ati ya… Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”


Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.


“Hmmm… Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella. “Ya ada enaknya ada enggaknya… Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak…” “Ada aku juga…” ujar Cherry riang. Vany tertawa. “Hahaha iya sih…”


Kami berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.


“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry. “Cher… Lu… Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”


Kali ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!


“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab. “Ella kan bakal punya adik, Kak…” ujarnya riang. Aku melonjak kaget. “HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu… Lu hamil??” Cherry nyengir, mengangguk. “Udah 3 bulan…” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “… Anak lu juga, Dit. Pasti.” “Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga…”


Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?


“… 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti… Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September. Wah ini kacau!


Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.


“Cher, 3 bulan kata lu?” “Ya. Napa mank?” “Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.


Cherry nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?


“… Kan kembar, Dit…” “KEMBAR??!!”


Tamat

Ngeseks dengan adik tiri


Ceritaku ini dimulai, waktu aku SMA kelas 3, waktu itu aku baru sebulan tinggal sama ayah tiriku. Ibu menikah dengan orang ini karena karena tidak tahan hidup menjanda lama-lama. Yang aku tidak sangka-sangka ternyata ayah tiriku punya 2 anak cewek yang keren dan seksi habis, yang satu sekolahnya sama denganku, namanya Lusi dan yang satunya lagi sudah kuliah, namanya Riri. Si Lusi cocok sekali kalau dijadikan bintang iklan obat pembentuk tubuh, nah kalau si Riri paling cocok untuk iklan BH sama suplemen payudara.

Sejak pertama aku tinggal, aku selalu berangan-angan bahwa dapat memiliki mereka, tapi angan-angan itu selalu buyar oleh berbagai hal. Dan siang ini kebetulan tidak ada orang di rumah selain aku dengan Lusi, ini juga aku sedang kecapaian karena baru pulang sekolah. “Lus! entar kalau ada perlu sama aku, aku ada di kamar,” teriakku dari kamar. Aku mulai menyalakan komputerku dan karena aku sedang suntuk, aku mulai dech surfing ke situs-situs porno kesayanganku, tapi enggak lama kemudian Lusi masuk ke kamar sambil bawa buku, kelihatannya dia mau tanya pelajaran. “Ben, kemaren kamu udah nyatet Biologi belom, aku pinjem dong!” katanya dengan suara manja. Tanpa memperdulikan komputerku yang sedang memutar film BF via internet, aku mengambilkan dia buku di rak bukuku yang jaraknya lumayan jauh dengan komputerku.

“Lus..! nich bukunya, kemarenan aku udah nyatet,” kataku.
Lusi tidak memperhatikanku tapi malah memperhatikan film BF yang sedang di komputerku.
“Lus.. kamu bengong aja!” kataku pura-pura tidak tahu.
“Eh.. iya, Ben kamu nyetel apa tuh! aku bilangin bonyok loh!” kata Lusi.
“Eeh.. kamu barusan kan juga liat, aku tau kamu suka juga kan,” balas aku.
“Mending kita nonton sama-sama, tenang aja aku tutup mulut kok,” ajakku berusaha mencari peluang.
“Bener nich, kamu kagak bilang?” katanya ragu.
“Suwer dech!” kataku sambil mengambilkan dia kursi.

Lusi mulai serius menonton tiap adegan, sedangkan aku serius untuk terus menatap tubuhnya.
“Lus, sebelum ini kamu pernah nonton bokep kagak?” tanyaku.
“Pernah, noh aku punya VCD-nya,” jawabnya.
Wah gila juga nich cewek, diam-diam nakal juga.
“Kalau ML?” tanyaku lagi.
“Belom,” katanya, “Tapi.. kalo sendiri sich sering.”
Wah makin berani saja aku, yang ada dalam pikiranku sekarang cuma ML sama dia.
Bagaimana caranya si “Beni Junior” bisa puas, tidak peduli saudara tiri, yang penting nafsuku hilang.
Melihat dadanya yang naik-turun karena terangsang, aku jadi semakin terangsang, dan batang kemaluanku pun makin tambah tegang.
“Lus, kamu terangsang yach, ampe napsu gitu nontonnya,” tanyaku memancing.
“Iya nic Ben, bentar yach aku ke kamar mandi dulu,” katanya.
“Eh.. ngapain ke kamar mandi, nih liat!” kataku menunjuk ke arah celanaku.
“Kasihanilah si Beni kecil,” kataku.
“Pikiran kamu jangan yang tidak-tidak dech,” katanya sambil meninggalkan kamarku.
“Tenang aja, rumah kan lagi sepi, aku tutup mulut dech,” kataku memancing.

Dan ternyata tidak ia gubris, bahkan terus berjalan ke kamar mandi sambil tangan kanannya meremas-remas buah dadanya dan tangan kirinya menggosok-gosok kemaluannya, dan hal inilah yang membuatku tidak menyerah. Kukejar terus dia, dan sesaat sebelum masuk kamar mandi, kutarik tangannya, kupegang kepalanya lalu kemudian langsung kucium bibirnya. Sesaat ia menolak tapi kemudian ia pasrah, bahkan menikmati setiap permainan lidahku. “Kau akan aku berikan pengalaman yang paling memuaskan,” kataku, kemudian kembali melanjutkan menciumnya. Tangannya membuka baju sekolah yang masih kami kenakan dan juga ia membuka BH-nya dan meletakkan tanganku di atas dadanya, kekenyalan dadanya sangat berbeda dengan gadis lain yang pernah kusentuh.
Perlahan ia membuka roknya, celanaku dan celana dalamnya. “Kita ke dalam kamar yuk!” ajaknya setelah kami berdua sama-sama bugil, “Terserah kaulah,” kataku,
“Yang penting kau akan kupuaskan.” Tak kusangka ia berani menarik penisku sambil berciuman, dan perlahan-lahan kami berjalan menuju kamarnya. “Ben, kamu tiduran dech, kita pake ’69' mau tidak?” katanya sambil mendorongku ke kasurnya. Ia mulai menindihku, didekatkan vaginanya ke mukaku sementara penisku diemutnya, aku mulai mencium-cium vaginanya yang sudah basah itu, dan aroma kewanitaannya membuatku semakin bersemangat untuk langsung memainkan klitorisnya.

Tak lama setelah kumasukkan lidahku, kutemukan klitorisnya lalu aku menghisap, menjilat dan kadang kumainkan dengan lidahku, sementara tanganku bermain di dadanya. Tak lama kemudian ia melepaskan emutannya. “Jangan hentikan Ben.. Ach.. percepat Ben, aku mau keluar nich! ach.. ach.. aachh.. Ben.. aku ke.. luar,” katanya berbarengan dengan menyemprotnya cairan kental dari vaginanya. Dankemudian dia lemas dan tiduran di sebelahku.

“Lus, sekali lagi yah, aku belum keluar nich,” pintaku.
“Bentar dulu yach, aku lagi capek nich,” jelasnya.
Aku tidak peduli kata-katanya, kemudian aku mulai mendekati vaginanya.
“Lus, aku masukkin sekarang yach,” kataku sambil memasukkan penisku perlahan-lahan.
Kelihatannya Lusi sedang tidak sadarkan diri, dia hanya terpejam coba untuk beristirahat. Vagina Lusi masih sempit sekali, penisku dibuat cuma diam mematung di pintunya. Perlahan kubuka dengan tangan dan terus kucoba untuk memasukkannya, dan akhirnya berhasil penisku masuk setengahnya, kira-kira 7 cm.

“Jangan Ben.. entar aku hamil!” katanya tanpa berontak.
“Kamu udah mens belom?” tanyaku.
“Udah, baru kemaren, emang kenapa?” katanya.
Sambil aku masukkan penisku yang setengah, aku jawab pertanyaannya,
“Kalau gitu kamu kagak bakal hamil.”
“Ach.. ach.. ahh..! sakit Ben, a.. ach.. ahh, pelan-pelan, aa.. aach.. aachh..!” katanya berteriak nikmat.
“Tenang aja cuma sebentar kok, Lus mending doggy style dech!” kataku tanpa melepaskan penis dan berusaha memutar tubuhnya.
Ia menuruti kata-kataku, lalu mulai kukeluar-masukkan penisku dalam vaginanya dan kurasa ia pun mulai terangsang kembali, karena sekarang ia merespon gerakan keluar-masukku dengan menaik-turunkan pinggulnya.

“Ach.. a.. aa ach..” teriaknya.
“Sakit lagi Ben.. a.. aa.. ach..”
“Tahan aja, cuma sebentar kok,” kataku sambil terus bergoyang dan meremas-remas buah dadanya.



“Ben,. ach pengen.. ach.. a.. keluar lagi Ben..” katanya.
“Tunggu sebentar yach, aku juga pengen nich,” balasku.
“Cepetan Ben, enggak tahan nich,” katanya semakin menegang.
“A.. ach.. aachh..! yach kan keluar.”
“Aku juga Say..” kataku semakin kencang menggenjot dan akhirnya setidaknya enam tembakan spermaku di dalam vaginanya.

Kucabut penisku dan aku melihat seprei, apakah ada darahnya atau tidak? tapi tenyata tidak.
“Lus kamu enggak perawan yach,” tanyaku.
“Iya Ben, dulu waktu lagi masturbasi nyodoknya kedaleman jadinya pecah dech,” jelasnya.
“Ben ingat loh, jangan bilang siapa-siapa, ini rahasia kita aja.””Oh tenang aja aku bisa dipercaya kok, asal lain kali kamu mau lagi.”
“Siapa sih yang bisa nolak ‘Beni Junior’,” katanya mesra.

Setelah saat itu setidaknya seminggu sekali aku selalu melakukan ML dengan Lusi, terkadang aku yang memang sedang ingin atau terkadang juga Lusi yang sering ketagihan, yang asyik sampai saat ini kami selalu bermain di rumah tanpa ada seorang pun yang tahu, kadang tengah malam aku ke kamar Lusi atau sebaliknya, kadang juga saat siang pulang sekolah kalau tidak ada orang di rumah.

Kali ini kelihatannya Lusi lagi ingin, sejak di sekolah ia terus menggodaku, bahkan ia sempat membisikkan kemauannya untuk ML siang ini di rumah, tapi malangnya siang ini ayah dan ibu sedang ada di rumah sehingga kami tak jadi melakukan ini. Aku menjanjikan nanti malam akan main ke kamarnya, dan ia mengiyakan saja, katanya asal bisa ML denganku hari ini ia menurut saja kemauanku.

Ternyata sampai malan ayahku belum tidur juga, kelihatannya sedang asyik menonton pertandingan bola di TV, dan aku pun tidur-tiduran sambil menunggu ayahku tertidur, tapi malang malah aku yang tertidur duluan. Dalam mimpiku, aku sedang dikelitiki sesuatu dan berusaha aku tahan, tapi kemudian sesuatu menindihku hingga aku sesak napas dan kemudian terbangun.

“Lusi! apa Ayah sudah tidur?” tanyaku melihat ternyata Lusi yang menindihiku dengan keadaan telanjang.
“kamu mulai nakal Ben, dari tadi aku tunggu kamu, kamu tidak datang-datang juga. kamu tau, sekarang sudah jam dua, dan ayah telah tidur sejak jam satu tadi,” katanya mesra sambil memegang penisku karena ternyata celana pendekku dan CD-ku telah dibukanya.
“Yang nakal tuh kamu, Bukannya permisi atau bangunin aku kek,” kataku.
“kamu tidak sadar yach, kamu kan udah bangun, tuh liat udah siap kok,” katanya sambil memperlihatkan penisku.
“Aku emut yach.”
Emutanya kali ini terasa berbeda, terasa begitu menghisap dan kelaparan.
“Lus jangan cepet-cepet dong, kasian ‘Beni Junior’ dong!”
“Aku udah kepengen berat Ben!” katanya lagi.
“Mending seperti biasa, kita pake posisi ’69' dan kita sama-sama enak,” kataku sembil berputar tanpa melepaskan emutannya kemudian sambil terus diemut.

Aku mulai menjilat-jilat vaginanya yang telah basah sambil tanganku memencet-mencet payudaranya yang semakin keras, terus kuhisap vaginanya dan mulai kumasukkan lidahku untuk mencari-cari klitorisnya.
“Aach.. achh..” desahnya ketika kutemukan klitorisnya.
“Ben! kamu pinter banget nemuin itilku, a.. achh.. ahh..”
“kamu juga makin pinter ngulum ‘Beni’ kecil,” kataku lagi.
“Ben, kali ini kita tidak usah banyak-banyak yach, aa.. achh..” katanya sambil mendesah.
“Cukup sekali aja nembaknya, taapi.. sa.. ma.. ss.. sa.. ma.. maa ac.. ach..” katanya sambil menikmati jilatanku.
“Tapi Ben aku.. ma.. u.. keluar nich! Ach.. a.. aahh..” katanya sambil menegang kemudian mengeluarkan cairan dari vaginanya.

“Kayaknya kamu harus dua kali dech!” kataku sambil merubah posisi.
“Ya udah dech, tapi sekarang kamu masukin yach,” katanya lagi.
“Bersiaplah akan aku masukkan ini sekarang,” kataku sambil mengarahkan penisku ke vaginanya.
“Siap-siap yach!”
“Ayo dech,” katanya.
“Ach.. a.. ahh..” desahnya ketika kumasukkan penisku.
“Pelan-pelan dong!”
“Inikan udah pelan Lus,” kataku sambil mulai bergoyang.
“Lus, kamu udah terangsang lagi belon?” tanyaku.
“Bentar lagi Ben,” katanya mulai menggoyangkan pantatnya untuk mengimbangiku, dan kemudian dia menarik kepalaku dan memitaku untuk sambil menciumnya.

“Sambil bercumbu dong Ben!”
Tanpa disuruh dua kali aku langsung mncumbunya, dan aku betul-betul menikmati permainan lidahnya yang semakin mahir.
“Lus kamu udah punya pacar belom?” tanyaku.”Aku udah tapi baru abis putus,” katanya sambil mendesah.
“Ben pacar aku itu enggak tau loh soal benginian, cuma kamu loh yang beginian sama aku.”
“Ach yang bener?” tanyaku lagi sambil mempercepat goyangan.
“Ach.. be.. ner.. kok Ben, a.. aa.. ach.. achh,” katanya terputus-putus.
“Tahan aja, atau kamu mau udahan?” kataku menggoda.
“Jangan udahan dong, aku baru kamu bikin terangsang lagi, kan kagak enak kalau udahan, achh.. aa.. ahh.. aku percepat yach Ben,” katanya.

Kemudian mempercepat gerakan pinggulnya.
“Kamu udah ngerti gimana enaknya, bentar lagi kayaknya aku bakal keluar dech,” kataku menyadari bahwa sepermaku sudah mengumpul di ujung.
“Achh.. ach.. bentar lagi nih.”
“Tahan Ben!” katanya sambil mengeluarkan penisku dari vaginanya dan kemudian menggulumnya sambil tanganya mamainkan klitorisnya.
“Aku juga Ben, bantu aku cari klitorisku dong!” katanya menarik tanganku ke vaginanya.
Sambil penisku terus dihisapnya kumainkan klitorisnya dengan tanganku dan..
“Achh.. a.. achh.. achh.. ahh..” desahku sambil menembakkan spermaku dalam mulutnya.
“Aku juga Ben..” katanya sambil menjepit tanganku dalam vaginanya.
“Ach.. ah.. aa.. ach..” desahnya.

“Aku tidur di sini yach, nanti bangunin aku jam lima sebelum ayah bagun,” katanya sambil menutup mata dan kemudian tertidur, di sampingku. Tepat jam lima pagi aku bangun dan membangunkanya, kemudian ia bergegas ke kamar madi dan mempersiapkan diri untuk sekolah, begitu juga dengan aku. Yang aneh siang ini tidak seperti biasanya Lusi tidak pulang bersamaku karena ia ada les privat, sedangkan di rumah cuma ada Mbak Riri, dan anehnya siang-siang begini Mbak Riri di rumah memakai kaos ketat dan rok mini seperti sedang menunggu sesuatu.

———-

“Siang Ben! baru pulang? Lusi mana?” tanyanya.
“Lusi lagi les, katanya bakal pulang sore,” kataku, “Loh Mbak sendiri kapan pulang? katanya dari Solo yach?”
“Aku pulang tadi malem jam tigaan,” katanya.
“Ben, tadi malam kamu teriak sendirian di kamar ada apa?”
Wah gawat sepertinya Mbak Riri dengar desahannya Lusi tadi malam.
“Ach tidak kok, cuma ngigo,” kataku sambil berlalu ke kamar.
“Ben!” panggilnya, “Temenin Mbak nonton VCD dong, Mbak males nich nonton sendirian,” katanya dari kamarnya.
“Bentar!” kataku sambil berjalan menuju kamarnya, “Ada film apa Mbak?” tanyaku sesampai di kamarnya.
“Liat aja, nanti juga tau,” katanya lagi.
“Mbak lagi nungguin seseorang yach?” tanyaku.
“Mbak, lagi nungguin kamu kok,” katanya datar, “Tuh liat filmnya udah mulai.”

“Loh inikan..?” kataku melihat film BF yang diputarnya dan tanpa meneruskan kata-kataku karena melihat ia mendekatiku. Kemudian ia mulai mencium bibirku.
“Mbak tau kok yang semalam,” katanya, “Kamu mau enggak ngelayanin aku, aku lebih pengalaman dech dari Lusi.”
Wah pucuk di cinta ulam tiba, yang satu pergi datang yang lain.
“Mbak, aku kan adik yang berbakti, masak nolak sich,” godaku sambil tangan kananku mulai masuk ke dalam rok mininya menggosok-gosok vaginanya, sedangkan tangan kiriku masuk ke kausnya dan memencet-mencet payudaranya yang super besar.
“Kamu pinter dech, tapi sayang kamu nakal, pinter cari kesempatan,” katanya menghentikan ciumannya dan melepaskan tanganku dari dada dan vaginanya.
“Mbak mau ngapain, kan lagi asyik?” tanyaku.”Kamu kagak sabaran yach, Mbak buka baju dulu terus kau juga, biar asikkan?” katanya sambil membuka bajunya.

Aku juga tak mau ketinggalan, aku mulai membuka bajuku sampai pada akhirnya kami berdua telanjang bulat.
“Tubuh Mbak bagus banget,” kataku memperhatikan tubuhnya dari atas sampai ujung kaki, benar-benar tidak ada cacat, putih mulus dan sekal.
Ia langsung mencumbuku dan tangan kanannya memegang penisku, dan mengarahkan ke vaginanya sambil berdiri.
“Aku udah enggak tahan Ben,” katanya.
Kuhalangi penisku dengan tangan kananku lalu kumainkan vaginanya dengan tangan kiriku.
“Nanti dulu ach, beginikan lebih asik.”
“Ach.. kamu nakal Ben! pantes si Lusi mau,” katanya mesra.

“Ben..! Mbak..! lagi dimana kalian?” terdengar suara Lusi memanggil dari luar.
“Hari ini guru lesnya tidak masuk jadi aku dipulangin, kalian lagi dimana sich?” tanyanya sekali lagi.
“Masuk aja Lus, kita lagi pesta nich,” kata Mbak Riri.
“Mbak! Entar kalau Lusi tau gimana?” tanyaku.
“Ben jangan panggil Mbak, panggil aja Riri,” katanya dan ketika itu aku melihat Lusi di pintu kamar sedang membuka baju.
“Rir, aku ikut yach!” pinta Lusi sambil memainkan vaginanya.
“Ben kamu kuat nggak?” tanya Riri.
“Tenang aja aku kuat kok, lagian kasian tuch Lusi udah terangsang,” kataku.
“Lus cepet sinih emut ‘Beni Junior’,” ajakku.

Tanpa menolak Lusi langsung datang mengemut penisku.
“Mending kita tiduran, biar aku dapet vaginamu,” kataku pada Riri.
“Ayo dech!” katanya kemudian mengambil posisi.
Riri meletakkan vaginanya di atas kepalaku, dan kepalanya menghadap vagina Lusi yang sedang mengemut penisku.
“Lus, aku maenin vaginamu,” katanya.
Tanpa menunggu jawaban dari Lusi ia langsung bermain di vaginanya.Permainan ini berlangsung lama sampai akhirnya Riri menegangkan pahanya, dan.. “Ach.. a.. aach.. aku keluar..” katanya sambil menyemprotkan cairan di vaginanya.

“Sekarang ganti Lusi yach,” kataku.
Kemudian aku bangun dan mengarahkan penisku ke vaginanya dan masuk perlahan-lahan.
“Ach.. aach..” desah Lusi.
“Kamu curang, Lusi kamu masukin, kok aku tidak?” katanya.
“Abis kamu keluar duluan, tapi tenang aja, nanti abis Lusi keluar kamu aku masukin, yang penting kamu merangsang dirimu sendiri,” kataku.
“Yang cepet dong goyangnya!” keluh Lusi.
Kupercepat goyanganku, dan dia mengimbanginya juga.
“Kak, ach.. entar lagi gant.. a.. ach.. gantian yach, aku.. mau keluar ach.. aa.. a.. ach..!” desahnya, kemudian lemas dan tertidur tak berdaya.

“Ayo Ben tunggu apa lagi!” kata Riri sambil mengangkang mampersilakan penisku untuk mencoblosnya.
“Aku udah terangsang lagi.”
Tanpa menunggu lama aku langsung mencoblosnya dan mencumbunya.
“Gimana enak penisku ini?” tanyaku.
“Penis kamu kepanjangan,” katanya, “tapi enak!”.
“Kayaknya kau nggak lama lagi dech,” kataku.
“Sama, aku juga enggak lama lagi,” katanya, “Kita keluarin sama-sama yach!” terangnya.
“Di luar apa di dalem?” tanyaku lagi.
“Ach.. a.. aach.. di.. dalem.. aja..” katanya tidak jelas karena sambil mendesah.
“Maksudku, ah.. ach.. di dalem aja.. aah.. ach.. bentar lagi..”
“Aku.. keluar.. ach.. achh.. ahh..” desahku sambil menembakkan spermaku.
“Ach.. aach.. aku.. ach.. juga..” katanya sambil menegang dan aku merasakan cairan membasahi penisku dalam vaginanya.

Akhirnya kami bertiga tertidur di lantai dan kami bangun pada saat bersamaan.
“Ben aku mandi dulu yach, udah sore nich.”
“Aku juga ach,” kataku.
“Ben, Lus, lain kali lagi yach,” pinta Riri.
“Itu bisa diatur, asal lagi kosong kayak gini, ya nggak Ben!” kata Lusi.
“Kapan aja kalian mau aku siap,” kataku.
“Kalau gitu kalian jangan mandi dulu, kita main lagi yuk!” kata Riri mulai memegang penisku.

Akhirnya kami main lagi sampai malam dan kebetulan ayah dan ibu telepon dan mengatakan bahwa mereka pulangnya besok pagi, jadi kami lebih bebas bermain, lagi dan lagi. Kemudian hari selanjutya kami sering bermain saat situasi seperti ini, kadang tengah malam hanya dengan Riri atau hanya Lusi. Oh bapak tiri, ternyata selain harta banyak, kamu juga punya dua anak yang siap menemaniku kapan saja, ohh nikmatnya hidup ini.

Itulah cerita dewasa yang bisa diberikan oleh berita terbaru kali ini, semoga saja anda bisa mengambil semua hikmah yang terkandung didalam cerita dewasa tersebut, perlu diingat cerita ini khusus bagi anda yang sudah dewasa sekian dan terima kasih.

Tamat