Dia mengerang. Lalu, dia terus menekan ke belakang dan memperhatikan
aku memasukkan batang penisku seluruhnya. Aku tak dapat menolak
rangsangan ini, kuraih pinggangnya dan mendorong lebih keras lagi untuk
memastikan aku telah memasukinya seutuhnya. Kuputar pinggangku,
memastikan dia dapat merasakan setiap mili senjataku didalamnya, aku
terpukau akan pemandangan penisku yang terkubur dalam lubang anusnya.
Lalu perlahan aku bergerak mundur.
Saat hampir seluruhnya
keluar kemudian kutekan lagi ke depan. Berikutnya aku benar-benar
keluarkan penisku dan menggodanya, mengoleskan kepalanya saja pada
lubang anusnya. Lalu benar-benar kusingkirkan menjauh dan melesakkan
batang penisku kembali kedalam lubang anusnya. Aku bergerak maju mundur
dengan cepat. Pelan, cepat, pelan dan keras. Tak terlalu lama orgasmeku
mulai naik. Dia pasti dapat merasakannya karena dia mulai memainkan
tangannya pada vaginanya, berusaha untuk meraih orgasmenya sendiri.
Untung saja dia mendapatkannya sebelum aku.
Saat kurasakan
orgasmenya segera meledak, aku bergerak semakin liar. Pantatnya
bergoyang dalam setiap hentakan. Dia mulai mengerang dengan keras
seiring hentakanku terhadapnya. Tak kuhentikan gerakanku saat orgasme
merengkuhnya, milikku segera datang! Kudorong diriku sejauh yang kubisa
dan membiarkan spermaku bersarang dalam lubang anusnya. Isteriku
berteriak saat orgasme datang padanya secara berkesinambungan seiring
ledakan spermaku yang kuberikan padanya. Akhirnya, aku selesai, tapi dia
mendapatkan orgasme sekali lagi saat kepala penisku keluar dari jepitan
lubang anusnya.
Isteriku membersihkan tubuhku lalu
mendorongku keluar dari kamar mandi. Aku melangkah ke kamar kami dan
berganti pakaian. Baru saja aku selesai memakai pakaian saat isteriku
keluar dari kamar mandi dan muncul dalam kamar.
"Tadi benar-benar indah" katanya.
"Mungkin kita harus mengulanginya lagi nanti. Sekarang keluarlah dan nonton TV."
"Mungkin kita harus mengulanginya lagi nanti. Sekarang keluarlah dan nonton TV."
*****
Anak-anakku,
tanpa Cindy pulang tak lama kemudian. Semuanya bertingkah normal. Aku
lihat pertandingan bola, dan mereka melakukan apa yang biasa mereka
kerjakan di hari Minggu sore.
Sisa seminggu itu normal-normal
saja. Gadis-gadis pergi ke sekolah dan Isteriku pergi kerja seperti
biasanya. Tak ada seorangpun yang bicara atau menanyakan tentang
kejadian minggu lalu. Isteriku terlalu letih tiap malamnya sepulang dia
kerja. Anak-anakku juga bersikap seperti tak pernah terjadi apapun. Aku
jadi mulai berpikir apakah itu hanya khayalanku atau aku bermimpi
tentang itu?
Saat aku pulang kerja di hari Jum'at, anak-anaku
meminta ijinku apa temannya boleh menginap nanti malam. Cindy ingin
meghabiskan kembali akhir minggunya bersama kami dan Eva ingin temannya
Ami bermalam juga. Aku suka Ami. Dia anggun. Kalau saja aku masih
remaja, aku pasti akan mengajaknya kencan. Dia, seperti Eva, memiliki
sosok sempurna. Bedanya Ami memiliki wajah yang dapat membuatnya dengan
mudah jadi seorang model kalau dia mau.
Malam harinya semuanya
pergi tidur lebih awal. Mereka benar-benar ingin lepas dari rutinitas
hariannya, baik itu sekolah atau kerja. Saat kami bangun hari Sabtunya,
semua orang memintaku untuk mengadakan pesta kebun. Maka, isteriku
maengajak mereka semua pergi ke toko untuk belanja. Aku beristirahat
sejenak kemudian pergi mandi. Ada kerjaan menungguku saat mereka pulang
nanti.
Saat mereka akhirnya pulang, sepertinya mereka
memborong semua barang-barang di toko. Aku bilang pada mereka kalau
hanya aku saja yang memasak pasti tak akan selesai. Bisa kacau jadinya.
Akhirnya mereka bersedia berbagi tugas. Dengan semua belanjaan yang
mereka borong, memerlukan hampir dua jam untuk memasaknya. Badanku bau
asap dan terasa sangat letih. Saat aku masuk kedalam rumah, tak ada
seorangpun di ruang keluarga ataupun dapur.
"Hey! Dimana kalian?" teriakku, "Saatnya makan!"
"Ya!" kudengar jawaban dari kamar Irma. Tapi tak ada seorangpun yang datang untuk makan.
"Hey, kalian sedang apa sih? Apa nggak ada yang mau makan?" tanyaku jengkel.
"Ada!" kembali hanya jawaban yang kudengar dari kamar Irma.
"Ya!" kudengar jawaban dari kamar Irma. Tapi tak ada seorangpun yang datang untuk makan.
"Hey, kalian sedang apa sih? Apa nggak ada yang mau makan?" tanyaku jengkel.
"Ada!" kembali hanya jawaban yang kudengar dari kamar Irma.
Aku
mendekat ke kamar Irma dan ternyata pintunya sedikit terbuka. Saat aku
menengok kedalam, kulihat para gadis dengan berbagai posisi tanpa
pakaian. Kudorong pintunya agar lebih terbuka.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Sedang menunggu Papa." Eva menjawab dan mendekat lalu menarik tanganku agar masuk.
"Kami membiarkan Papa minggu kemarin, tapi akhir pekan ini Papa tak akan dapat lolos dengan mudah."
"Sudah Papa bilang. Mama kalian akan membunuhku!" tangkisku.
"Tidak, aku tak akan melakukannya!" kudengar suara isteriku saat kulihat dia mengangkat kepalanya di antara paha Irma.
"Gadis-gadis ini menginginkanmu! Bisa apa aku menolak mereka?"
"Sedang menunggu Papa." Eva menjawab dan mendekat lalu menarik tanganku agar masuk.
"Kami membiarkan Papa minggu kemarin, tapi akhir pekan ini Papa tak akan dapat lolos dengan mudah."
"Sudah Papa bilang. Mama kalian akan membunuhku!" tangkisku.
"Tidak, aku tak akan melakukannya!" kudengar suara isteriku saat kulihat dia mengangkat kepalanya di antara paha Irma.
"Gadis-gadis ini menginginkanmu! Bisa apa aku menolak mereka?"
Eva
menarik tanganku ke tengah kamar. Baru kemudian aku sadar kalau dia tak
mengenakan selembar benangpun. Kupandangi tubuhnya. Apa yang kusaksikan
ini jauh lebih baik dari yang kubayangkan. Payudaranya besar tapi
kencang dengan putingnya yang menunggu untuk segera dihisap.
"Bisa apa aku menolak mereka?" pikirku saat aku rendahkan tubuhku dan mulai menghisap puting itu.
Kurasakan
puting Eva membesar dalam mulutku, lalu kutaruh diantara gigiku dan
mulai menggigitnya pelan. Saat aku sedang sibuk dengan itu kurasakan ada
tangan yang menarik turun resletingku. Lalu tangan itu merogoh kedalam
celana dalamku dan mengeluarkan penisku. Aku melihat ke bawah dan
kudapati Ami sedang mengarahkan penisku ke mulutnya dan segera saja
dihisapnya. Kutelusuri lekuk tubuh Irma dengan tanganku sampai pada
vaginanya yang tak berambut, dan menyelipkan jariku padanya. Dapat
kurasakan kehangatan dalam vaginanya dan basah saat jariki kutekankan
masuk dengan pelan. Aku berusah untuk mendorongnya lebih dalam lagi,
tapi terasa ada yang menahan gerakanku. Eva memandangku..
"Ya,
Eva masih perawan, dan jari Papa adalah benda pertama yang memasuki
vagina Eva. Eva harap penis Papalah yang kedua." aku membungkuk dan
mencium Eva, bibir kami seakan melebur bersama, sebuah ciuman yang
sempurna.
Sementara itu, Ami masih mengoralku. Usahanya jelas
berdampak padaku. Aku melihat kebawah, kepalanya bergerak maju mundur
pada batang penisku. Aku tak ingin mengeluarkan sperma pertamaku dalam
mulut Ami sedangkan ada pilihan lainnya. Vagina perawan Eva dihadapanku.
Maka kukeluarkan penisku dari mulut Ami.
"Kita dapat melanjutkannya nanti." kataku padanya.
Kudorong
Eva ke tempat tidur, menindihnya dengan lembut. Kucium dia lagi lalu
ciumanku bergerak ke sekujur tubuh telanjangnya. Kujilati lehernya, dan
kutinggalkan bekas disana agar dia mengingat kejadian indah ini
nantinya. Kemudian aku bergerak ke dadanya, menghisapi putingnya. Ini
mengakibatkan beberapa lenguhan keluar dari mulutnya. Saat kugigit
lembut putingnya dan punggungnya terangkat sedikit keatas karena
terkejut. Lalu turun ke perutnya hingga akhirnya bermuara pada vaginanya
yang tak berambut.
Kupandangi sejenak lalu kubenamkan
hidungku pada celahnya. Aroma yang keluar dari vaginanya semakin
membuatku mabuk. Saat kugantikan hidungku dengan lidah, akibatnya jadi
jauh lebih baik lagi. Saat ujung lidahku merasakan untuk pertama kalinya
hampir saja membuatku orgasme! Eva telah basah dan siap untuk aksi
selanjutnya. Penisku membesar dan keras hanya dengan membayangkan apa
yang segera menantiku didepan wajahku ini.
Ciumanku bergerak
keatas dan berlabuh dalam lumatan bibirnya lagi seiring dengan kepala
penisku yang menguak beranda keperawanannya. Eva mengalungkan lengannya
dileherku dan menjepit pinggangku dengan kakinya saat aku berusaha untuk
memasukinya lebih dalam lagi. Dapat kurasakan kehangatan yang menyambut
kepala penisku. Aku tak dapat menahannya lebih lama. Eva sangat panas,
basah dan rapat!
Pelan namun pasti kutingkatkan tekananku pada
vaginanya. Dapat kurasakan bibirnya melebar menyambutku, ke-basahannya
mengundangku masuk. Kehangatan vaginanya membungkus kepala penisku saat
aku menyeruak masuk. Aku terus menekan kedalam dengan pelan meskipun aku
ingin segera melesakkannya kedalam dengan cepat seluruh batang penisku.
Akhirnya dapat kurasakan dinding keperawanannya, batas akhirnya sebagai
seorang gadis untuk menjadi seorang wanita seutuhnya. Kupandangi dia
tepat di mata.
"Sayang, ini akan sedikit sakit, tapi Papa
janji sakitnya hanya sebentar saja." kurasakan kakinya menjepit
pinggangku lebih rapat saat aku merobek pertahanan akhirnya. Akhirnya
jebol juga dinding itu.
"Aargh! Gila! Sakit, Pa!" katanya dengan mata yang berkaca-kaca. Vaginanya mencengkeram batang penisku, ototnya bereaksi pada penyusup dan rasa sakit.
"Tenang sayang, sakitnya akan segera hilang." dan kuteruskan menekan ke dalam sampai akhirnya terbenam semua di dalamnya. Aku diam sejenak, membiarkannya untuk beradaptasi.
"Gimana? Udah baikan?" tanyaku. Dia anggukkan kepalanya.
"Aku hanya merasa penuh, rasanya aneh. Tapi juga terasa enak berbarengan."
"Aargh! Gila! Sakit, Pa!" katanya dengan mata yang berkaca-kaca. Vaginanya mencengkeram batang penisku, ototnya bereaksi pada penyusup dan rasa sakit.
"Tenang sayang, sakitnya akan segera hilang." dan kuteruskan menekan ke dalam sampai akhirnya terbenam semua di dalamnya. Aku diam sejenak, membiarkannya untuk beradaptasi.
"Gimana? Udah baikan?" tanyaku. Dia anggukkan kepalanya.
"Aku hanya merasa penuh, rasanya aneh. Tapi juga terasa enak berbarengan."
Aku
mulai menarik dengan pelan, hanya beberapa inchi, dan kemudian
mendorongnya lagi dengan lembut. Aku khawatir menyakitinya, tapi dalam
waktu yang sama aku tak ingin segera menembakkan spermaku. Aku ingin
menikmati rasa vaginanya selama mungkin. Kurasa dia mulai dapat
menikmatinya, kepalanya mendongak ke atas dan matanya terpejam.
Kupercepat
kocokanku, menariknya hampir keluar dan menekannya masuk kembali dengan
pelan, menikmati rasa sempit vaginanya pada penisku. Eva mulai memutar
pinggulnya seiring hentakanku. Tempo dan nafsu kami semakin meningkat
cepat. Kurendahkan tubuhku dan mencium lehernya dan bahunya. Tiap
gerakan tubuh kami mengantarku semakin dekat pada batas akhir.
"Ya Pa! Ya! Rasanya Eva hampir sampai!"
"Papa juga sayang!" Dan kulesakkan ke dalamnya untuk yang terakhir kali. Menekan berlawanan arah dengannya mencoba sedalam mungkin saat kuledakkan sperma semprotan demi semprotan kedalam vaginanya. Dapat kurasakan cairan kami bercampur dan meleleh keluar dari vaginanya menuju ke buah zakarku.
"Papa juga sayang!" Dan kulesakkan ke dalamnya untuk yang terakhir kali. Menekan berlawanan arah dengannya mencoba sedalam mungkin saat kuledakkan sperma semprotan demi semprotan kedalam vaginanya. Dapat kurasakan cairan kami bercampur dan meleleh keluar dari vaginanya menuju ke buah zakarku.
Tubuh Eva bergetar di bawahku, tangan dan
kakinya mendorongku merapat padanya. Pelan kutarik dan kudorong lagi
semakin dalam padanya saat persediaan spermaku akhirnya benar-benar
kosong. Kutatap matanya lalu menciumnya.
"Eva, ini adalah seks terbaik yang pernah Papa dapatkan." aku lupa kalau kami tak sendirian dikamar ini.
"Aku dengar itu!" kata isteriku.
"Kita akan lihat apa kita bisa mengubah anggapanmu itu!"
"Aku dengar itu!" kata isteriku.
"Kita akan lihat apa kita bisa mengubah anggapanmu itu!"
Dengan para gadis-gadis itu dalam kamar ini, aku sadar 'kesenanganku' baru saja akan dimulai.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar